Powered By Blogger

Minggu, 12 September 2010

manusia sastra

SASTRA SEBAGAI SUMBER SEJARAH
By : Rustanto Mujo Nugroho


Dalam arti sempit, sejarah mempelajari manusia masa lampau, sepanjang hal itu dapat diteliti dari keterangan-keterangan tertulis yang berasal dari zamannya dan kemudian sampai kepada kita. Dalam arti luas sejarah berusaha mengungkapkan manusia masa lalu dalam menjalani riwayatnya sejak dari mula, tidak peduli apakah keterangan yang ditinggalkannya berupa keterangan tertulis atau bukan. Demikian juga, sejarah memiliki tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, kini, dan masa depan. Dengan demikian, Nevins (1962) menyatakan bahwa history is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future. Sejarah merupakan studi masa lampau manusia yang bermakna, yang dapat dijadikan cermin untuk melihat masa sekarang dan sekaligus pula merupakan suatu pedoman atau kiblat untuk menatap masa depan secara mantap.
Hingga dewasa ini, kaidah-kaidah ilmiah penulisan sejarah telah berkembang pesat, tetapi masih tetap hangat dibincangkan tentang historiografi tradisional. Dalam historiografi tradisional inilah terletak kaitan antara sastra dan sejarah; studi sastra merupakan pelengkap studi sejarah.
Secara singkat, historiografi tradisional bertujuan mempertinggi kesaktian raja di mana rakyatnya sehingga isi historiografi tradisional meliputi sebagian sejarah dan sebagian lain tidak hanyalah merupakan mitos. Hal ini tampak dalam beberapa karya sastra dan sejarah seperti Pararaton, Negarakertagama, dan Sutasoma
Sejenis pula dengan karya di atas adalah kitab Kidung Sunda (Berg, 1927) dan kitab Usana Bali. Para penulis kitab-kitab tersebut mengemban pesan atau tujuan khusus, yaitu menunjukkn serba kelebihan raja-raja atau pembesar-besar kraton sehingga mereka tampak sebagai manusia keramat atau setidak-tidaknya manusia super. Mereka memiliki angka kelebihan yang menimbulkan decak kekaguman pembaca atau rakyat. Pada umumnya, peran orang kebanyakan belum sempat dituturkan, dan apabila sempat diutarakan, tidak lebih sekedar sebagai pelengkap saja (Wirjosuparto, 1965).
Setelah Islam datang ke Indonesia, kitab-kitab sejarah yang ada belum dapat membedakan pengertian sejarah yang sebenarnya dengan mitos. Hal ini tercermin dalam kitab-kitab sejenis Sejarah Melayu, Sejarah Banten, Babad Tanah Jawi, Babad Gianti, Hikayat Aceh, Silsilah Raja-Raja Kutai, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan sebagainya.
Berikut ini diulas Babad Mangir sebagai contoh setidak-tidaknya ada tiga versi Babad Mangir, yaitu susunan R. Ngabehi Suradipura, Serat Babad Mangir (1931), Babad Mangir (1980). Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, dan Babad Bedhahing Mangir (Naskah, PBA 16, Museum Sanabudaya Yogyakarta). Babad Mangir membicarakan sejarah konsolidasi pemerintahan Senapati. Dalam tahap akhir konsolidasi pemerintahannya, Senapati sangat dipusingkan penguasa daerah pedesaan yang berada di sekitar dan di sepanjang Sungai Praga. Mereka bersikeras tidak mau menghadap raja di istana Kotagede. Sementara itu, daerah-daerah yang lebih besar dan lebih jauh seperti Kedu, Bagelen, Semarang, Pati, Jepara, Pajang, Madiun, dan Kediri satu per satu telah menyatakan tunduk di bawah Senapati. Dalam babad itu tidak terlupa tersaji paparan legitimasi raja dalam sederetan peristiwa lanjut.
Untuk memantapkan legitimasi Mataram, dikatakan bahwa raja-raja Mataram menikah sakral dengan Nyi Rara Kidul. Kepercayaan ini hingga sekarang masih hidup di kalangan rakyat luas; bahkan pada masa HB IX, yang terlihat bahwa beliau berpendidikan tinggi dan berwawasan luas pun, legitimasi itu masih ada, misalnya tradisi labuhan masih dipertahankan.
Selain legitimasi raja, juga diberikan apologisme atas perbuatan apa pun yang dilakukan raja atau penguasa. Historiografi tradisional mempunyai tujuan-tujuan lain; misalnya, untuk mengurangi kepahitan bagi orang Jawa sebagai bangsa terjajah maka ditulislah Baron Sakeber atau Serat Baron Sakendar.
Historiografi tradisional tampak kaya pula akan penulisan sejarah yang bersifat profetis atau mengandung ramalan, misalnya ramalan Joyoboyo. Demikian juga, ada yang dapat dipandang sebagai pelopor biografi, misalnya Babad Dipanegara.
Dengan melihat beberapa bukti karya sastra di atas, yang lebih dikenal dengan historiografi tradisional itu, maka harus dicermati pemisahan antara mitos dan sejarah. Harus ditempuh sikap kritis dalam studi sejarah yang mengambil bahan historiografi tradisional karena di dalamnya tercakup antara bukti sejarah dan mitos sebagai legitimasi raja. Untuk itu, studi sejarah secara kritis dan studi sastra yang kritis pula harus dan mutlak diperlukan bagi kepentingan kedua ilmu itu.
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa teks-teks sastra, teks-teks literer dapat dipakai sebagai pelengkap studi sejarah. Yang melakukan kerja itu antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, Winstedt yang memakai teks sastra ”sejarah” untuk buku-buku sejarahnya A History of Johore (1932). A History Of Perak (1934), dan A History of Malaya (1935). Hal ini tidak mengherankan karena Winstedt lebih tertarik pada sejarah daripada sastra. Oleh sebab itu, sastra dipakainya sebagai alat pelengkap studi sejarah. Kedua Wolters dalam bagian kedua dari bukunya The Fall of Sriwijaya in Malay History (1970) menggunakan teks tertentu Sejarah Melayu pertama–tama sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan sejarah melalui penafsiran cerita-cerita yang nyata atau tidak nyata. Ia tidak menghiraukan makna, fungsi, serta kedudukan teks-teks kuna itu dalam zamannya untuk membuktikan hipotesis sejarah. Ia tidak mendekati teks Melayu itu sebagai sebuah karya sastra yang berstruktur, tetapi memandangnya dengan kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi dan yang palsu (Teew, 1972).
Sampai di sini terlihat bahwa tidak sedikit karya sastra dimanfaatkan dalam historiografi tradisional. Banyak buku menandakan akan kenyataan bahwa studi sastra merupakan pelengkap studi sejarah.
Suryo (1987), misalnya, meneliti kisah-kisah Ki Ageng Mangir dalam historiografi babad. Kisah ini dimanfaatkannya dalam penyusunan sejarah lokal karena sebagaimana dijumpai dalam penulisan sejarah sekitar awal berdirinya Mataram Islam pada abad ke-16 juga banyak dijumpai tabir-tabir kegelapan yang perlu diungkapkan. Keterbatasan sumber merupakan penyebabnya. Melalui kajian sumber babad membangun kerajaan Mataram Islam setelah keruntuhan Pajang dan Demak sebagai pendahulunya.
Ki Ageng Mangir sebagai tokoh sentral merupakan tokoh legendaris, kalau tidak tokoh pahlawan lokal. Kelegendarisannya itu tercermin dari pemberian nama-nama tempat, sisa-sisa kekeramatan akan makamnya, seringnya dijadikan lakon ketoprak, dan lain-lain.
Demikianlah terlihat bahwa penulisan sejarah atau historiografi tradisional sering memanfaatkan sastra sebagai sumbernya, tetapi hal itu merupakan satu tahapan dalam perkembangan historiografi yang lebih sahih. Historiografi tradisional seperti terpapar di atas memiliki sifat ganda, yaitu sebagai karya sastra dan sebagai karya sejarah. Kedua studi ini merupakan dua studi yang saling melengkapi sehingga disebut sebagai karya sastra sejarah. Oleh karena itu, dalam historiografi tradisional tidak dibedakan antara kebenaran historis dengan kebenaran pikiran pengarang. Di sinilah letaknya bahwa peranan sejarawan dalam mempertimbangkan bahwa sastra tradisional yang dipakai sebagai sumber sejarah itu tetap merupakan karya fiktif.
Apabila disepakati bersama, ternyata historiografi tradisional banyak memanfaatkan sastra sebagai sumbernya; bagaimanakah hal ini dapat dipahami dan diterima oleh semua kalangan pada dewasa ini? Yang perlu diingat bahwa, pada dasarnya sastra, juga babad-babad itu, adalah karya imajinatif bukan karya historis.

Penulis adalah Mahasiswa Semester 8, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ngawi

Email : aan.saputra22@yahoo.co.id

__****__****__****__

Tidak ada komentar:

Posting Komentar